NAMA :HANI ROHANI
NPM :101100069
TUGAS :SOSIAL POLITIK
SEMESTER : 2
“MENELUSURI
ASAL USUL DAN BUDAYA SUKU NAGA DI TASIK MALAYA”
Orang
Naga adalah orang-orang yang sederhana, ramah, menjunjung adat, dan punya
semangat gotong royong yang tinggi. Kearifan lokal komunitas ini bisa menjadi
contoh, cara menjaga kelestarian alam dengan tradisi.kampung kecil yang terletak
jauh dari hiruk pikuk kota ini berselimutkan nuansa alam yang masih perawan.
Masyarakatnya hidup dengan rukun, damai dan sejahtera. Hidup berkecukupan
dengan kekayaan adat istiadat tradisional yang dijunjung tinggi.Dalam sejarah
Sunda, memegang teguh adat adalah hal yang utama.Namun, pada bulan Mei 2009 tiba-tiba
saja komunitas yang kebanyakan bekerja sebagai petani ini unjuk sikap. Setelah
sekian lama hidup dalam ketenangan, mereka menyatakan memboikot para pengunjung
atau wisatawan yang akan berkunjung ke kampungnya dan hal itu merupakan bentuk
protes terhadap pemerintah dan PT Pertamina karena hingga kini warga Kampung
Naga kesulitan memperoleh minyak tanah setelah suplainya dikurangi,karena warga
Kampung Naga menjadikan minyak tanah untuk masak dan penerangan.Dan pemboikotan
itu dapat mengancam dunia pariwisata di Jabar. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
kemudian menawarkan bantuan suryakanta pembangkit listrik tenaga matahari kepada
warga Kampung Naga agar menghentikan aksi boikotnya,sedangkan PT Pertamina tidak mungkin menyuplai minyak
tanah bersubsidi hanya ke Kampung Naga,karena akan memicu kecemburuan bagi daerah lain.
Untuk menutupi kebutuhan bahan penerangan, Dinas Pariwisata Jabar yang selama
ini mengandalkan Kampung naga sebagai daerah tujuan wisata mengusulkan warga Kampung
Naga menggunakan suryakanta.Penggunaan suryakanta ini tidak akan mengikis nilai
kultural Kampung Naga. Lain halnya dengan listrik yang akan mengubah wajah
keaslian Kampung Naga. Oleh karena warga Kampung Naga menolak listrik di
kampungnya.Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh
sekolompok masyarakat yang kuat memegang adat istiadat peninggalan leleuhurnya.
Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat
lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan
yang dikondisikan dalam suasana kebersahajaan dan lingkungan kearifan
tradisional yang lekat.Kampung eksotis ini berada di wilayah Desa Neglasari,
Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat tidak jauh dari
jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Perkampungan
tradisional dengan luas areal kurang lebih empat hektar ini memiliki kehidupan
komunitas yang unik. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern,
beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti
berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar Islam misalnya Upacara bulan
Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang)
Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan.Upacara Adat masyarakat
Kampung Naga yang sering selenggarakan di antaranya: MENYEPI. Upacara menyepi
dilakukan pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Upacara ini sangat penting dan
wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik pria maupun wanita. Pelaksanaan upacara
menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan
usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat
istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena
penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila
dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.HAJAT SASIH,Upacara Hajat
Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal
di Kampung Naga dalam maupun di Kampung Naga Luar. Upacara Hajat Sasih
merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur. Maksud dan tujuan dari
upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung
Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas segala nikmat yang telah diberikan kepada seluruh warga. Pemilihan tanggal
dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih dilakukan bertepatan dengan
hari-hari besar agama Islam.KAWINAN,Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung
Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. Upacara ini
dilaksanakan dengan sangat sakral mulai dari penentuan tanggal baik untuk
perayaan sampai dengan resepsi berakhir. Adapun tahap-tahap dalam upacara
perkawinan tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog
(menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan
diakhiri dengan munjungan (sungkeman).
Bentuk
bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan
lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi
penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman
bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua
bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun
rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan
ornamen Perkampungan Naga.Rumah yang berada di Kampung Naga jumlahnya tidak
boleh lebih ataupun kurang dari 108 bangunan secara turun temurun, dan sisanya
adalah Masjid, lei (Lumbung Padi) dan patemon (Balai Pertemuan). Apabila
terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri, maka telah tersedia
areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung Naga Dalam yang biasa
disebut Kampung Naga Luar.Semua peralatan rumah tangga yang digunakan oleh
penduduk Kampung Naga pun masih sangat tradisional dan umumnya terbuat dari
bahan anyaman. Dan tidak ada perabotan seperti meja atau kursi di dalam rumah.
Hal ini tidak mencerminkan bahwa Kampung Naga merupakan kampung yang
terbelakang atau tertinggal, akan tetapi mereka memang membatasi budaya modern
yang masuk dan selalu menjaga keutuhan adat tradisional agar tidak
terkontaminasi dengan kebudayaan luar.Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah,
karena semua bangunan penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah
terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran. Pemangku adat pun
memandang apabila aliran listrik masuk maka akan terjadi kesenjangan sosial
diantara warganya yang berlomba-lomba membeli alat elektronik dan dapat
menimbulkan iri hati.Tempat permukiman kampong naga tampak seperti diapit dua
buah hutan.Hutan pertama yang terletak di sisi Sungai Ciwulan disebut Leuweung
Biuk. Hutan lainnya yang letaknya pada daerah yang lebih tinggi disebut
Leuweung Larangan. Leuweung dalam bahasa Sunda artinya hutan. Seperti
tempat-tempat lainnya yang dinamakan hutan, seluruh arealnya ditumbuhi tanaman
keras yang entah sudah berapa puluh atau ratus tahun umurnya, yang membedakan
kawasan hutan di daerah itu dengan daerah lainnya di luar Kampung Naga adalah keadaan
tumbuhan Leuweung Biuk dan apalagi tumbuhan di Leuweung Larangan tetap terjaga
utuh. Kawasan itu tampak hijau dengan berbagai jenis tumbuhan yang secara
sengaja dibiarkan tumbuh secara alami. Terhadap tumbuhan tersebut, tak seorang
pun anggota masyarakat Suku Naga berani merusaknya karena kedua areal hutan itu
dikeramatkan karena disana di makamkan leluhur masyarakat sukunnaga,sembah
dalem eyang singaparna,Kunjungan ke makam tersebut biasanya hanya dilakukan
dalam waktu-waktu tertentu, terutama pada saat diselenggarakan upacara hajat
sasih setiap dua bulan sekali. Upacara ritual itu hanya diikuti oleh kaum
laki-laki dewasa yang sebelumnya mengikuti ketentuan khusus. Misalnya, sudah
melakukan beberesih, yakni mandi bersama di Sungai Ciwulan.Upacara itu dipimpin
kuncen yang bertindak sebagai kepala pemangku adat. Para peserta biasanya
menggunakan pakaian yang menyerupai jubah warna putih, kepala diikat totopong,
yakni sejenis ikat kepala khas Suku Naga. Selain itu mereka tidak boleh
menggunakan alas kaki, baik berupa sandal apalagi sepatu.Berbeda dengan
Leuweung Larangan,leuweng biuk merupakan leuweng yangbtabu di kunjungi,tidak
ada masyarakat yang menginjaknya apalagi sampai menebang pohon karena pamali.Pamali
sama artinya dengan tabu. Ketentuan yang tidak tertulis itu merupakan dogma
yang harus dipatuhi tanpa dijelaskan lagi alasan-alasannya, apalagi sampai
diperdebatkan. Sesuatu yang dikatakan pamali merupakan ketentuan dari leluhurnya
yang harus dipatuhi. Jika tidak, mereka akan menanggung akibatnya, baik secara
individu maupun kelompok.Peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan,
serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan panen gagal atau
berkurang produksinya misalnya, dianggap sebagai peristiwa yang tidak lepas
dari hukum kausalitas. Karena itu, ketika terjadi perambahan tanah adat yang
kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat adat Suku Naga
sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“MENELUSURI
BUDAYA DAN ASAL SUKU DUKUH DI GARUT”
Kampung Dukuh adalah kampung
adat yang memiliki keunikan tersendiri. Pola kehidupan sarat nilai-nilai luhur.
Masyarakatnya hidup di rumah-rumah panggung yang sederhana. Bangunan berwujud
empat persegi panjang dari kayu atau bambu beratap daun ilalang yang dilapis
ijuk. Semua bangungan menghadap ke Barat dan Timur,Karena pantang bagi mereka membuat
pintu yang menghadap ke Utara.Namun ciri itu menciptakan satu keseragaman yang
unik. Selain itu, Masing masing rumah memiliki halaman memanjang seperti jalan
setapak yang membujur di muka dan di belakangnya. Bentuk
bangunan seperti disebut di atas merupakan ketentuan adat dan keharusan yang
tidak boleh dilanggar. Sehingga bila dilihat dari atas pegunungan, maka
pemandangan Kampung Dukuh tampak bagai kotak-kotak mungil yang tertata rapi dan
indah.Secara spiritual, karomah Kampung Dukuh masih
tetap besar. Masyarakat di dalam kawasan ini masih bangga mengakui sebagai
komunitas Dukuh yang tetap mengikuti pola hidup secara adat,hidup sederhana.Keunikan
Kampung Dukuh adalah keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan
pemukimannya. Terdiri beberapa puluh rumah yang tersusun pada kemiringan tanah
yang bertingkat. Setiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari
Barat ke Timur. Kampung Dukuh merupakan wilayah dengan suasana alam dan budaya
religi kuat. Masyarakat disini memiliki pandangan hidup berdasar pada sufusme
Mazhab Imam Syafii. Landasan budaya tersebut mempengaruhi bentuk fisik wilayah
tersebut serta adat istiadat masyarakat. Masyarakatnya pun sangat menjunjung
harmonisasi dan keselarasan hidup.
Paham itulah yang membawa pengaruh pada penerapan budaya hidup sederhana. Tengoklah pada bentuk bangunan di Kampung Dukuh yang tidak menggunakan dinding dari tembok dan atap dan genteng serta jendela kaca. Ini menjadi salah satu aturan yang dilatarbelakangi alasan bahwa hal yang berbau kemewahan akan mengakibatkan suasana hidup bermasyarakat menjadi tidak harmonis. Di kampung ini tidak diperkenankan adanya listrik dan barang-barang elektronik. Sebab barang-barang semacam itu dipercaya selain ada manfaatnya, namun mudharatnya lebih besar lagi. Alat makan yang dianjurkan terbuat dari pepohonan dan alam sekitar. Misalnya terbuat dari bambu, batok kelapa dan kayu. Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan, karena bahan tersebut tidak mudah hancur atau pecah dan dapat menyerap kotoran. Pada hari Kamis, 5 Oktober 2006, kampung ini mengalami kebakaran hebat. Sebanyak 51 dari 96 bangunan yang ada terbakar bersama isinya. Benda pusaka yang disimpan di Panyepenan ikut musnah pula. Para sepuh Kampung Dukuh menyebut musibah itu sebagai ”geus nepi kana ugana” (sudah sampai kepada uga-nya). Hal ini berpegang pada ramalan masyarakat Kampung Dukuh yang berbunyi : ”Di ahir jaman bakal loba parahu/ Urang Dukuh mah makena parahu belang. (Di akhir zaman nanti akan terdapat banyak perahu. Orang Dukuh akan memakai perahu belang).” Uga atau ramalan yang disebutkan para tokoh masyarakat adat Dukuh tersebut ditafsirkan, bahwa suatu saat nanti, orang Dukuh akan mengalami kehancuran dan setelah hancur akan tumbuh kembali setelah datang Ratu Adil yang membangun kembali Dukuh.
Paham itulah yang membawa pengaruh pada penerapan budaya hidup sederhana. Tengoklah pada bentuk bangunan di Kampung Dukuh yang tidak menggunakan dinding dari tembok dan atap dan genteng serta jendela kaca. Ini menjadi salah satu aturan yang dilatarbelakangi alasan bahwa hal yang berbau kemewahan akan mengakibatkan suasana hidup bermasyarakat menjadi tidak harmonis. Di kampung ini tidak diperkenankan adanya listrik dan barang-barang elektronik. Sebab barang-barang semacam itu dipercaya selain ada manfaatnya, namun mudharatnya lebih besar lagi. Alat makan yang dianjurkan terbuat dari pepohonan dan alam sekitar. Misalnya terbuat dari bambu, batok kelapa dan kayu. Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan, karena bahan tersebut tidak mudah hancur atau pecah dan dapat menyerap kotoran. Pada hari Kamis, 5 Oktober 2006, kampung ini mengalami kebakaran hebat. Sebanyak 51 dari 96 bangunan yang ada terbakar bersama isinya. Benda pusaka yang disimpan di Panyepenan ikut musnah pula. Para sepuh Kampung Dukuh menyebut musibah itu sebagai ”geus nepi kana ugana” (sudah sampai kepada uga-nya). Hal ini berpegang pada ramalan masyarakat Kampung Dukuh yang berbunyi : ”Di ahir jaman bakal loba parahu/ Urang Dukuh mah makena parahu belang. (Di akhir zaman nanti akan terdapat banyak perahu. Orang Dukuh akan memakai perahu belang).” Uga atau ramalan yang disebutkan para tokoh masyarakat adat Dukuh tersebut ditafsirkan, bahwa suatu saat nanti, orang Dukuh akan mengalami kehancuran dan setelah hancur akan tumbuh kembali setelah datang Ratu Adil yang membangun kembali Dukuh.
Kampung Dukuh konon didirikan oleh Syeikh Abdul Djalil.
Seorang ulama dari Sumedang di era kekuasaan Bupati Rangga Gempol, abad 16-17
Masehi. Karena kecewa akan janji Bupati untuk menerapkan syariat Islam di tatar
Sumedang yang tak pernah terlaksana, akhirnya dia mengasingkan diri di Cikelet,
Garut Selatan. Di situlah Syeikh Abdul Djalil membuka Kampung Dukuh berikut
adat istiadatnya. Makamnya terletak di sisi timur Kampung Dukuh.Saat itu Syeikh
Abdul Djalil, penduduk Nusa Jawa, menimba ilmu di tanah suci Mekkah. Setelah
ilmunya cukup, gurunya meminta agar Syeikh Abdul Djalil pulang ke kampung
halamannya. Namun Syaikh keberatan, dengan alasan ingin menghabiskan sisa
hidupnya di Makkah. Guru Syeikh maklum dengan itikad baik muridnya. Namun ia
tetap berharap supaya muridnya itu kembali ke tanah air. Untuk
itu, beliau memberinya segenggam tanah dan sekendi air suci dari Mekkah. Syeikh
Abdul Djalil merupakan sosok yang taat dan patuh terhadap gurunya. Dan pada
akhirnya, Syeikh pun menerima semua permintaan gurunya. Selanjutnya, sang guru
berpesan supaya tanah tersebut ditaburkan di tempat yang dianggap cocok dengan
nuraninya, sementara air di dalam kendi di tanam di tanah tersebut. Syaikh
Abdul Djalil menyetujui, lalu ia kembali ke Mataram. Menjadi Penghulu,Pada
suatu waktu, di daerah Sumedang yang saat itu diperintah oleh penguasa bernama
Rangga Gempol sedang membutuhkan seorang penghulu. Bahkan Rangga Gempol sampai
mengirim utusan hingga ke Mataram. Oleh penguasa Mataram, ditunjuklah Syaikh
Abdul jalil untuk menjadi penghulu di daerah Sumedang. Syeikh Abdul Djalil
bersedia menjadi penghulu di Sumedang, namun dengan satu permintaan. Yakni agar
Bupati dan rakyatnya bersatu padu dan saling bahu membahu dan tidak boleh
melanggar aturan hukum dan sara (Alquran dan Alhadist).
Syarat itu pun disanggupi oleh Rangga Gempol. Setelah Syeikh Abdul Djalil menjabat sebagai penghulu selama 12 atahun, ia berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji dan Rangga Gempol mengijinkan. Ketika Syeikh Abdul Djalil sedang berada di tanah suci Mekkah, penguasa Sumedang kedatangan utusan dari Banten dnegna maksud meminta agar penguasa Sumedang tidak mengabdi ke Mataram melainkan mengabdi ke Banten.
Mendengar keinginan dua utusan dari Banten itu, Rangga Gempol tidak langsung memutus. Namun ia minta waktu untuk mempertimbangkan. Selanjutnya, kedua utusan itu pun kembali ke Banten. Namun ketika berada di daerah Parakan Muncang, keduanya dibunuh atas perintah penguasa Sumedang, dengan alasan jika dibiarkan hidup dan tiba di Banten, dikhawatirkan akan terjadi hruu-hara di Sumedang.
Setelah sekian lama di Mekkah, Syeikh Abdul Djalil kembali ke tatar Sumedang. Namun, kejadian kedatangan dan pembunuhan atas utusan dari Banten ditutup-tutupi agar tidak diketahui Syeikh Abdul Djalil. Namun informasi tersebut akhirnya diketahui juga lewat seorang tangna kanannya yang bernama Sutawijaya. Mendengar laporan itu, Syeikh Abdul Djalil marah dan sat itu juga ia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai penghulu. Selanjutnya ia pergi dari Sumedang dan mengembara ke daerah Batuwangi Singajaya Garut dan menetap selama kurang lebih 3,5 tahun.
Selama itu, Syeikh Abdul Djalil terus berdoa agar ditunjukkan sebuah tempat yang cocok untuk dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian Syeikh Abdul Djalil mengembara lagi ke daerah Tonjong Cisanggiri, Pameungpeuk. Di tempat itu, Syeikh Abdul Djalil menetap kurang lebih 1,5 tahun. Tepat pada hari Jumat Kliwon, 12 Mulud tahun Alif, Syeikh Abdul Djalil melihat cahaya terang yagnmenyorot dari dalam tanah kira-kira sebesar pohon kawung (aren).
Melihat kejadian itu, Syeikh bergegas menghampiri asal cahaya. Ternyata di tempat itu terdapat sebuah rumah yang ditempati sepasang suami istri yang sedang berladang. Belakangan diketahui bahwa peladang bernama Aki Chandra dan Nini Chandra yang berasal dari cidamar Cianjur. Konon tempat itulah yang kemudian menjadi Kampung Adat Dukuh.
“Menelusuri Sejarah dan Adat Istiadat Suku Dayak di Kalimantan”
Syarat itu pun disanggupi oleh Rangga Gempol. Setelah Syeikh Abdul Djalil menjabat sebagai penghulu selama 12 atahun, ia berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji dan Rangga Gempol mengijinkan. Ketika Syeikh Abdul Djalil sedang berada di tanah suci Mekkah, penguasa Sumedang kedatangan utusan dari Banten dnegna maksud meminta agar penguasa Sumedang tidak mengabdi ke Mataram melainkan mengabdi ke Banten.
Mendengar keinginan dua utusan dari Banten itu, Rangga Gempol tidak langsung memutus. Namun ia minta waktu untuk mempertimbangkan. Selanjutnya, kedua utusan itu pun kembali ke Banten. Namun ketika berada di daerah Parakan Muncang, keduanya dibunuh atas perintah penguasa Sumedang, dengan alasan jika dibiarkan hidup dan tiba di Banten, dikhawatirkan akan terjadi hruu-hara di Sumedang.
Setelah sekian lama di Mekkah, Syeikh Abdul Djalil kembali ke tatar Sumedang. Namun, kejadian kedatangan dan pembunuhan atas utusan dari Banten ditutup-tutupi agar tidak diketahui Syeikh Abdul Djalil. Namun informasi tersebut akhirnya diketahui juga lewat seorang tangna kanannya yang bernama Sutawijaya. Mendengar laporan itu, Syeikh Abdul Djalil marah dan sat itu juga ia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai penghulu. Selanjutnya ia pergi dari Sumedang dan mengembara ke daerah Batuwangi Singajaya Garut dan menetap selama kurang lebih 3,5 tahun.
Selama itu, Syeikh Abdul Djalil terus berdoa agar ditunjukkan sebuah tempat yang cocok untuk dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian Syeikh Abdul Djalil mengembara lagi ke daerah Tonjong Cisanggiri, Pameungpeuk. Di tempat itu, Syeikh Abdul Djalil menetap kurang lebih 1,5 tahun. Tepat pada hari Jumat Kliwon, 12 Mulud tahun Alif, Syeikh Abdul Djalil melihat cahaya terang yagnmenyorot dari dalam tanah kira-kira sebesar pohon kawung (aren).
Melihat kejadian itu, Syeikh bergegas menghampiri asal cahaya. Ternyata di tempat itu terdapat sebuah rumah yang ditempati sepasang suami istri yang sedang berladang. Belakangan diketahui bahwa peladang bernama Aki Chandra dan Nini Chandra yang berasal dari cidamar Cianjur. Konon tempat itulah yang kemudian menjadi Kampung Adat Dukuh.
“Menelusuri Sejarah dan Adat Istiadat Suku Dayak di Kalimantan”
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang
tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri
sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan.
Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih
diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh
Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak
kenal menyerah atau pantang mundur.
ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang
merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid
dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi
pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan
penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra
dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.Belum
lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan
Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah
Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri
sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.
Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan
perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak,
sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai
yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389
(Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan
terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada
saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para
pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam
dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya
sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah,
bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit,
Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba.
Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah
Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).Tidak
hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun
1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di
kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa
datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era
Islam.Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak
dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya
berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak
langsung berniaga dengan orang Dayak. Adapun ada beberapa adat istiadat bagi
suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku
Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang.
Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman
Kalimantan.
- Upacara
Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara
yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke
Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang
memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.Upacara Tiwah bagi
Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang
yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak
sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai
akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
- Dunia
Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu
merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar
negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada
kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak
di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan
banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku
Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di
temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh
yang di cari pasti akan ditemukan.Mangkok merah merupakan media persatuan Suku
Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam
bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya
mengeluarkan isyarat siaga atau perang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar