Rabu, 03 April 2013

Sosiologi Politik: Asal-Usul Kampung Naga


NAMA               :HANI ROHANI
NPM                  :101100069
TUGAS             :SOSIAL POLITIK
SEMESTER     : 2

“MENELUSURI ASAL USUL DAN BUDAYA SUKU NAGA DI TASIK MALAYA”
Orang Naga adalah orang-orang yang sederhana, ramah, menjunjung adat, dan punya semangat gotong royong yang tinggi. Kearifan lokal komunitas ini bisa menjadi contoh, cara menjaga kelestarian alam dengan tradisi.kampung kecil yang terletak jauh dari hiruk pikuk kota ini berselimutkan nuansa alam yang masih perawan. Masyarakatnya hidup dengan rukun, damai dan sejahtera. Hidup berkecukupan dengan kekayaan adat istiadat tradisional yang dijunjung tinggi.Dalam sejarah Sunda, memegang teguh adat adalah hal yang utama.Namun, pada bulan Mei 2009 tiba-tiba saja komunitas yang kebanyakan bekerja sebagai petani ini unjuk sikap. Setelah sekian lama hidup dalam ketenangan, mereka menyatakan memboikot para pengunjung atau wisatawan yang akan berkunjung ke kampungnya dan hal itu merupakan bentuk protes terhadap pemerintah dan PT Pertamina karena hingga kini warga Kampung Naga kesulitan memperoleh minyak tanah setelah suplainya dikurangi,karena warga Kampung Naga menjadikan minyak tanah untuk masak dan penerangan.Dan pemboikotan itu dapat mengancam dunia pariwisata di Jabar. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kemudian menawarkan bantuan suryakanta pembangkit listrik tenaga matahari kepada warga Kampung Naga agar menghentikan aksi boikotnya,sedangkan  PT Pertamina tidak mungkin menyuplai minyak tanah bersubsidi hanya ke Kampung Naga,karena  akan memicu kecemburuan bagi daerah lain. Untuk menutupi kebutuhan bahan penerangan, Dinas Pariwisata Jabar yang selama ini mengandalkan Kampung naga sebagai daerah tujuan wisata mengusulkan warga Kampung Naga menggunakan suryakanta.Penggunaan suryakanta ini tidak akan mengikis nilai kultural Kampung Naga. Lain halnya dengan listrik yang akan mengubah wajah keaslian Kampung Naga. Oleh karena warga Kampung Naga menolak listrik di kampungnya.Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekolompok masyarakat yang kuat memegang adat istiadat peninggalan leleuhurnya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kebersahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.Kampung eksotis ini berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih empat hektar ini memiliki kehidupan komunitas yang unik. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan.Upacara Adat masyarakat Kampung Naga yang sering selenggarakan di antaranya: MENYEPI. Upacara menyepi dilakukan pada hari Selasa, Rabu, dan Sabtu. Upacara ini sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik pria maupun wanita. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Melihat kepatuhan warga Naga terhadap aturan adat, selain karena penghormatan kepada leluhurnya juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikuatirkan akan menimbulkan malapetaka.HAJAT SASIH,Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Sa-Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga dalam maupun di Kampung Naga Luar. Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam leluhur. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikan kepada seluruh warga. Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam.KAWINAN,Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. Upacara ini dilaksanakan dengan sangat sakral mulai dari penentuan tanggal baik untuk perayaan sampai dengan resepsi berakhir. Adapun tahap-tahap dalam upacara perkawinan tersebut adalah sebagai berikut: upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan (sungkeman).
Bentuk bangunan di Kampung Naga sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.Rumah yang berada di Kampung Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 108 bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah Masjid, lei (Lumbung Padi) dan patemon (Balai Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri, maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung Naga Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.Semua peralatan rumah tangga yang digunakan oleh penduduk Kampung Naga pun masih sangat tradisional dan umumnya terbuat dari bahan anyaman. Dan tidak ada perabotan seperti meja atau kursi di dalam rumah. Hal ini tidak mencerminkan bahwa Kampung Naga merupakan kampung yang terbelakang atau tertinggal, akan tetapi mereka memang membatasi budaya modern yang masuk dan selalu menjaga keutuhan adat tradisional agar tidak terkontaminasi dengan kebudayaan luar.Kampung ini menolak aliran listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk menggunakan bahan kayu dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran. Pemangku adat pun memandang apabila aliran listrik masuk maka akan terjadi kesenjangan sosial diantara warganya yang berlomba-lomba membeli alat elektronik dan dapat menimbulkan iri hati.Tempat permukiman kampong naga tampak seperti diapit dua buah hutan.Hutan pertama yang terletak di sisi Sungai Ciwulan disebut Leuweung Biuk. Hutan lainnya yang letaknya pada daerah yang lebih tinggi disebut Leuweung Larangan. Leuweung dalam bahasa Sunda artinya hutan. Seperti tempat-tempat lainnya yang dinamakan hutan, seluruh arealnya ditumbuhi tanaman keras yang entah sudah berapa puluh atau ratus tahun umurnya, yang membedakan kawasan hutan di daerah itu dengan daerah lainnya di luar Kampung Naga adalah keadaan tumbuhan Leuweung Biuk dan apalagi tumbuhan di Leuweung Larangan tetap terjaga utuh. Kawasan itu tampak hijau dengan berbagai jenis tumbuhan yang secara sengaja dibiarkan tumbuh secara alami. Terhadap tumbuhan tersebut, tak seorang pun anggota masyarakat Suku Naga berani merusaknya karena kedua areal hutan itu dikeramatkan karena disana di makamkan leluhur masyarakat sukunnaga,sembah dalem eyang singaparna,Kunjungan ke makam tersebut biasanya hanya dilakukan dalam waktu-waktu tertentu, terutama pada saat diselenggarakan upacara hajat sasih setiap dua bulan sekali. Upacara ritual itu hanya diikuti oleh kaum laki-laki dewasa yang sebelumnya mengikuti ketentuan khusus. Misalnya, sudah melakukan beberesih, yakni mandi bersama di Sungai Ciwulan.Upacara itu dipimpin kuncen yang bertindak sebagai kepala pemangku adat. Para peserta biasanya menggunakan pakaian yang menyerupai jubah warna putih, kepala diikat totopong, yakni sejenis ikat kepala khas Suku Naga. Selain itu mereka tidak boleh menggunakan alas kaki, baik berupa sandal apalagi sepatu.Berbeda dengan Leuweung Larangan,leuweng biuk merupakan leuweng yangbtabu di kunjungi,tidak ada masyarakat yang menginjaknya apalagi sampai menebang pohon karena pamali.Pamali sama artinya dengan tabu. Ketentuan yang tidak tertulis itu merupakan dogma yang harus dipatuhi tanpa dijelaskan lagi alasan-alasannya, apalagi sampai diperdebatkan. Sesuatu yang dikatakan pamali merupakan ketentuan dari leluhurnya yang harus dipatuhi. Jika tidak, mereka akan menanggung akibatnya, baik secara individu maupun kelompok.Peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan, serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan panen gagal atau berkurang produksinya misalnya, dianggap sebagai peristiwa yang tidak lepas dari hukum kausalitas. Karena itu, ketika terjadi perambahan tanah adat yang kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat adat Suku Naga sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“MENELUSURI BUDAYA DAN ASAL SUKU DUKUH DI GARUT”
Kampung Dukuh adalah kampung adat yang memiliki keunikan tersendiri. Pola kehidupan sarat nilai-nilai luhur. Masyarakatnya hidup di rumah-rumah panggung yang sederhana. Bangunan berwujud empat persegi panjang dari kayu atau bambu beratap daun ilalang yang dilapis ijuk. Semua bangungan menghadap ke Barat dan Timur,Karena pantang bagi mereka membuat pintu yang menghadap ke Utara.Namun ciri itu menciptakan satu keseragaman yang unik. Selain itu, Masing masing rumah memiliki halaman memanjang seperti jalan setapak yang membujur di muka dan di belakangnya. Bentuk bangunan seperti disebut di atas merupakan ketentuan adat dan keharusan yang tidak boleh dilanggar. Sehingga bila dilihat dari atas pegunungan, maka pemandangan Kampung Dukuh tampak bagai kotak-kotak mungil yang tertata rapi dan indah.Secara spiritual, karomah Kampung Dukuh masih tetap besar. Masyarakat di dalam kawasan ini masih bangga mengakui sebagai komunitas Dukuh yang tetap mengikuti pola hidup secara adat,hidup sederhana.Keunikan Kampung Dukuh adalah keseragaman struktur dan bentuk arsitektur bangunan pemukimannya. Terdiri beberapa puluh rumah yang tersusun pada kemiringan tanah yang bertingkat. Setiap tingkatan terdapat sederetan rumah yang membujur dari Barat ke Timur. Kampung Dukuh merupakan wilayah dengan suasana alam dan budaya religi kuat. Masyarakat disini memiliki pandangan hidup berdasar pada sufusme Mazhab Imam Syafii. Landasan budaya tersebut mempengaruhi bentuk fisik wilayah tersebut serta adat istiadat masyarakat. Masyarakatnya pun sangat menjunjung harmonisasi dan keselarasan hidup.
Paham itulah yang membawa pengaruh pada penerapan budaya hidup sederhana. Tengoklah pada bentuk bangunan di Kampung Dukuh yang tidak menggunakan dinding dari tembok dan atap dan genteng serta jendela kaca. Ini menjadi salah satu aturan yang dilatarbelakangi alasan bahwa hal yang berbau kemewahan akan mengakibatkan suasana hidup bermasyarakat menjadi tidak harmonis. Di kampung ini tidak diperkenankan adanya listrik dan barang-barang elektronik. Sebab barang-barang semacam itu dipercaya selain ada manfaatnya, namun mudharatnya lebih besar lagi. Alat makan yang dianjurkan terbuat dari pepohonan dan alam sekitar. Misalnya terbuat dari bambu, batok kelapa dan kayu. Material tersebut dipercaya lebih memberikan manfaat ekonomis dan kesehatan, karena bahan tersebut tidak mudah hancur atau pecah dan dapat menyerap kotoran. Pada hari Kamis, 5 Oktober 2006, kampung ini mengalami kebakaran hebat. Sebanyak 51 dari 96 bangunan yang ada terbakar bersama isinya. Benda pusaka yang disimpan di Panyepenan ikut musnah pula. Para sepuh Kampung Dukuh menyebut musibah itu sebagai ”geus nepi kana ugana” (sudah sampai kepada uga-nya). Hal ini berpegang pada ramalan masyarakat Kampung Dukuh yang berbunyi : ”Di ahir jaman bakal loba parahu/ Urang Dukuh mah makena parahu belang. (Di akhir zaman nanti akan terdapat banyak perahu. Orang Dukuh akan memakai perahu belang).”  Uga atau ramalan yang disebutkan para tokoh masyarakat adat Dukuh tersebut ditafsirkan, bahwa suatu saat nanti, orang Dukuh akan mengalami kehancuran dan setelah hancur akan tumbuh kembali setelah datang Ratu Adil yang membangun kembali Dukuh.
Kampung Dukuh konon didirikan oleh Syeikh Abdul Djalil. Seorang ulama dari Sumedang di era kekuasaan Bupati Rangga Gempol, abad 16-17 Masehi. Karena kecewa akan janji Bupati untuk menerapkan syariat Islam di tatar Sumedang yang tak pernah terlaksana, akhirnya dia mengasingkan diri di Cikelet, Garut Selatan. Di situlah Syeikh Abdul Djalil membuka Kampung Dukuh berikut adat istiadatnya. Makamnya terletak di sisi timur Kampung Dukuh.Saat itu Syeikh Abdul Djalil, penduduk Nusa Jawa, menimba ilmu di tanah suci Mekkah. Setelah ilmunya cukup, gurunya meminta agar Syeikh Abdul Djalil pulang ke kampung halamannya. Namun Syaikh keberatan, dengan alasan ingin menghabiskan sisa hidupnya di Makkah. Guru Syeikh maklum dengan itikad baik muridnya. Namun ia tetap berharap supaya muridnya itu kembali ke tanah air. Untuk itu, beliau memberinya segenggam tanah dan sekendi air suci dari Mekkah. Syeikh Abdul Djalil merupakan sosok yang taat dan patuh terhadap gurunya. Dan pada akhirnya, Syeikh pun menerima semua permintaan gurunya. Selanjutnya, sang guru berpesan supaya tanah tersebut ditaburkan di tempat yang dianggap cocok dengan nuraninya, sementara air di dalam kendi di tanam di tanah tersebut. Syaikh Abdul Djalil menyetujui, lalu ia kembali ke Mataram. Menjadi Penghulu,Pada suatu waktu, di daerah Sumedang yang saat itu diperintah oleh penguasa bernama Rangga Gempol sedang membutuhkan seorang penghulu. Bahkan Rangga Gempol sampai mengirim utusan hingga ke Mataram. Oleh penguasa Mataram, ditunjuklah Syaikh Abdul jalil untuk menjadi penghulu di daerah Sumedang. Syeikh Abdul Djalil bersedia menjadi penghulu di Sumedang, namun dengan satu permintaan. Yakni agar Bupati dan rakyatnya bersatu padu dan saling bahu membahu dan tidak boleh melanggar aturan hukum dan sara (Alquran dan Alhadist).

Syarat itu pun disanggupi oleh Rangga Gempol. Setelah Syeikh Abdul Djalil menjabat sebagai penghulu selama 12 atahun, ia berkeinginan untuk melaksanakan ibadah haji dan Rangga Gempol mengijinkan. Ketika Syeikh Abdul Djalil sedang berada di tanah suci Mekkah, penguasa Sumedang kedatangan utusan dari Banten dnegna maksud meminta agar penguasa Sumedang tidak mengabdi ke Mataram melainkan mengabdi ke Banten.

Mendengar keinginan dua utusan dari Banten itu, Rangga Gempol tidak langsung memutus. Namun ia minta waktu untuk mempertimbangkan. Selanjutnya, kedua utusan itu pun kembali ke Banten. Namun ketika berada di daerah Parakan Muncang, keduanya dibunuh atas perintah penguasa Sumedang, dengan alasan jika dibiarkan hidup dan tiba di Banten, dikhawatirkan akan terjadi hruu-hara di Sumedang.

Setelah sekian lama di Mekkah, Syeikh Abdul Djalil kembali ke tatar Sumedang. Namun, kejadian kedatangan dan pembunuhan atas utusan dari Banten ditutup-tutupi agar tidak diketahui Syeikh Abdul Djalil. Namun informasi tersebut akhirnya diketahui juga lewat seorang tangna kanannya yang bernama Sutawijaya. Mendengar laporan itu, Syeikh Abdul Djalil marah dan sat itu juga ia mengundurkan diri dari kedudukannya sebagai penghulu. Selanjutnya ia pergi dari Sumedang dan mengembara ke daerah Batuwangi Singajaya Garut dan menetap selama kurang lebih 3,5 tahun.

Selama itu, Syeikh Abdul Djalil terus berdoa agar ditunjukkan sebuah tempat yang cocok untuk dijadikan tempat tinggalnya. Kemudian Syeikh Abdul Djalil mengembara lagi ke daerah Tonjong Cisanggiri, Pameungpeuk. Di tempat itu, Syeikh Abdul Djalil menetap kurang lebih 1,5 tahun. Tepat pada hari Jumat Kliwon, 12 Mulud tahun Alif, Syeikh Abdul Djalil melihat cahaya terang yagnmenyorot dari dalam tanah kira-kira sebesar pohon kawung (aren).

Melihat kejadian itu, Syeikh bergegas menghampiri asal cahaya. Ternyata di tempat itu terdapat sebuah rumah yang ditempati sepasang suami istri yang sedang berladang. Belakangan diketahui bahwa peladang bernama Aki Chandra dan Nini Chandra yang berasal dari cidamar Cianjur. Konon tempat itulah yang kemudian menjadi Kampung Adat Dukuh.

“Menelusuri Sejarah dan
Adat Istiadat Suku Dayak di Kalimantan”
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Adapun ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan.
  • Upacara Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
  • Dunia Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar